Sebagai masyarakat timur, seringkali kita merasa
sungkan membicarakan masalah seksualitas. Apalagi pada individu autis, yang
memang memerlukan penanganan khusus. Selain sungkan, kebanyakan orang tua juga
tidak sanggup menghadapi rangkaian masalah yang harus dihadapi di kemudian hari
dan memilih untuk menyimpan masalah itu hingga saat-saat terakhir. Padahal
justru peran orang tua di masa kanak anak sangatlah menentukan dalam
mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa-masa remaja dan masa dewasa
mereka. Tanpa persiapan dan penjelasan sebelumnya, anak autis bingung dan cemas
menghadapi perubahan fisik dalam diri mereka atau terlanjur menjadi korban
penanganan lingkungan yang kurang bertanggung jawab.
BATASAN
Individu autis adalah individu yang sudah mendapat
diagnosa sebagai memiliki gangguan per-kembangan autisme sebelum usia 3 tahun,
dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan
interaksi. Kadang mereka juga memiliki masalah lain seperti masalah makan,
masalah tidur, gangguan sensoris dan sebagainya.
Masa remaja autis, berawal pada usia yang
berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan
dorongan seksual sejak usia 8 tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia
13-18 tahun. Bahkan ada pula yang hingga awal usia 20-an tidak menunjukkan
minat yang berarti. Adams (2000) menyebutkan bahwa diskusi awal mengenai topik
ini sudah seharusnya dimulai saat anak berusia 10 tahun, kecuali anak tampak
memiliki kebutuhan untuk itu di usia lebih dini.
Yang jelas, penelitian menunjukkan bahwa pada
individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi
perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami
gangguan perkembangan. Mereka mengalami perubahan emosional, fisik dan sosial
yang hampir sama. Perubahan fisik mereka antara lain: mulai tumbuh rambut di
wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi perubahan pertumbuhan rambut di
seluruh tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi. Meski demikian,
perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasuk autism)
prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering
ditentang oleh lingkungan (Schwier&Hingsburger, 2000) sehingga tidak ada
informasi yang jelas. Atau, sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali
dari pergaulan karena tidak mampu menterjemahkan begitu banyak ‘pesan tersirat’
dan aturan sosial yang membingungkan. Temple Grandin dalam salah satu bukunya
bahkan menuturkan bahwa ia memutuskan untuk hidup lajang (=celibacy) agar
terhindar dari situasi sosial yang begitu rumit dan sulit ia atasi.
Seksualitas adalah integrasi dari perasaan,
kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan
kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita.
Seks, sebaliknya, biasanya hanya didefinisikan
sebagai jenis kelamin (pria atau wanita); atau kegiatan atau aktifitas dari
hubungan fisik seks itu sendiri.
Dalam makalah ini, seksualitas dibatasi sebagai pikiran, perasaan, sikap dan perilaku
seseorang terhadap dirinya sendiri. (Schwier
& Hingsburger, 2000). Dengan
demikian, bukan kegiatan hubungan seks yang akan dibahas, tapi bagaimana
membantu anak autis memahami seksualitas secara keseluruhan agar ia berkembang sebagai
pribadi yang ‘utuh’ dan ‘mandiri’.
Seksualitas
mencakup banyak faktor dan tidak bisa dilihat secara terpisah. Untuk dapat
memahami seksualitas, kita harus memahami cinta kasih. Untuk dapat memahami
cinta-kasih, kita harus memahami keterikatan (=bonding). Memahami
‘keterikatan’, kita harus memahami arti cinta tanpa pamrih. Dan tentu saja,
untuk dapat memahami arti cinta tanpa pamrih, kita harus pernah merasakannya.
(Schwier&Hingsburger, 2000). Sayangnya bagi individu dengan kebutuhan
khusus ini, seringkali mereka kurang mendapatkan perlakuan penuh kasih dari
lingkungan terdekatnya.
Bahkan
ada penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan lebih tertarik kepada bayi
atau balita yang lucu, menggemaskan dan berespons dengan baik; tapi kurang
tertarik kepada mereka yang kurang menarik. Apalagi anak autis seringkali
kurang mampu berkomunikasi atau berespons sehingga lingkungan berasumsi bahwa
anak-anak ini juga tidak paham stimulasi atau percakapan. Lingkungan lalu
memutuskan untuk tidak mengajak bicara anak-anak ini, dengan pemikiran yang
sangat sederhana “mereka ‘kan tidak mengerti”. Seringkali kesempatan anak-anak
dengan kebutuhan khusus ini untuk bergaul dengan teman sebaya juga terbatas,
sehingga mereka tidak punya pengalaman bergaul yang cukup untuk membentuk
hubungan emosional yang sehat sesuai usia mereka.
SEKSUALITAS PADA INDIVIDU AUTISTIC SPECTRUM DISORDER
Selain gangguan perilaku dan gangguan komunikasi,
masalah individu autis adalah dalam membentuk interaksi dengan orang lain.
Masalah interaksi ini (DSM IV- R-2000), termanifestasi dalam bentuk gangguan
kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik:
-
kesulitan dalam menggunakan perilaku non-verbal seperti
kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan isyarat untuk mengatur hubungan
sosial
-
kesulitan membentuk hubungan dengan teman sebaya yang
sesuai dengan tahap perkembangannya
-
ketidak-mampuan untuk secara spontan mencari orang lain
untuk tujuan berbagi kesenangan, minat atau keberhasilan
-
ketidak-mampuan membentuk hubungan sosio-emosional yang
timbal balik.
Dewey and
Everad (1974) menjelaskan bahwa individu autis bisa merasa tertarik pada orang
lain, tapi gaya ekspresi seksualitas mereka seringkali naif, tidak matang dan
tidak sesuai dengan usianya. Gangguan autism mereka tampaknya menghambat mereka
dalam memahami sinyal-sinyal tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar
manusia. Jadi meskipun mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih
sama dengan anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan sosial
mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka untuk berinteraksi
secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini lawan jenis).
Temple Grandin
menjelaskan bahwa interaksi sosial yang bagi orang lain merupakan sesuatu yang
terjadi secara alamiah, baginya adalah hal yang paling sulit untuk ia pahami.
Ia harus belajar melalui cara yang ‘coba-salah’ (=trial error) karena ia tidak
paham harus berbuat apa. Bagi dia, manusia sulit ditebak, respons emosinya
sangat rumit dan bergradasi, dan reaksi atas stimulus cenderung berubah-ubah.
Ia harus terus menerus menalar interaksi sosial. Bahkan hingga kini, hubungan
antar pribadi adalah hal yang tidak dipahami oleh Grandin.
Untuk
mempermudah dirinya sendiri, Grandin mengembangkan sistim untuk memahami
interaksi sosial, yang ia sebut “Sins of the System”, yang terbagi atas 4
kelompok:
~
Really bad
things. Misal: membunuh, membakar, mencuri dan berbagai larangan lain.
~
Courtesy
rules. Misal: tidak menerobos antrian, aturan saat makan, mengucapkan terima
kasih, menjaga kebersihan diri.
Hal-hal yang penting untuk membuat orang lain merasa nyaman.
~
Illegal but
not bad. Misal: sedikit ngebut di jalan raya, parkir di tempat terlarang.
~
Sins of the
System (SOS). Misal: mengisap ganja, masuk penjara selama 10 tahun, dan
perilaku seksual yang menyimpang. SOS adalah penalti yang sangat parah sehingga
mengalahkan semua llogika. Kadang penalti untuk perilaku seksual menyimpang
lebih parah daripada untuk pembunuhan.
Karena Grandin
sangat bingung akan muatan ‘emosional’ yang terkandung dalam aturan-aturan
hubungan antar pribadi, ia bahkan tidak berani membicarakannya karena takut
melanggar SOS. Grandin paham bahwa aturan SOS di sebuah lingkungan bisa
diartikan sebagai perilaku yang dapat diterima, sementara di lingkungan yang
berbeda belum tentu (standard di setiap lingkungan tidak sama). Sementara itu,
3 aturan lain lebih bersifat permanen dan berlaku pada semua lingkungan
sehingga bisa lebih dimengerti oleh Grandin.
Kekhawatiran
Grandin melanggar SOS membuatnya memilih untuk hidup melajang. Menurut Grandin,
ia terhindar dari aneka masalah karena pilihannya tersebut. Grandin
menganjurkan individu lain dengan autism untuk memahami bahwa “perilaku
tertentu tidak bisa ditoleransi”. Karena itu, biasanya individu autis memutuskan
untuk hidup melajang, atau bila memutuskan untuk menikah sekalipun, biasanya
menikah dengan pasangan yang memiliki gangguan serupa.
Sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh Grandin, sebuah survei atas 63 anak autis menunjukkan
bahwa tidak satupun dari mereka menikah saat sudah dewasa (Rutter 1970). Kanner
(1972) melakukan survei serupa pada 96 anak autis, tidak satupun secara
bersungguh-sungguh memikirkan kemungkinan untuk menikah. Pada survei lain, 21
anak HFA (high-functioning autism) ditanya mengenai pengetahuan mereka,
pengalaman dan keinginan mereka sehubungan dengan seksualitas
(Ousley&Mezibov 1992). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak
frustrasi pada pria autis dewasa karena perbedaan antara minat terhadap
aktifitas seksual dan pengalaman seksual mereka.
Rasa frustrasi tersebut tentu saja
tidak sehat, apalagi bila anak bingung oleh berbagai perubahan fisik dan hormon
dalam dirinya. Karena itu penting sekali memberikan informasi positif mengenai
seksualitas sejak usia dini. Pendidikan seks yang terus menerus juga akan
membantu mengurangi stres dan perasaan terisolir yang biasanya muncul pada
individu autis remaja.
Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual individu autis sebenarnya
tidak terganggu, tapi ekspresi mereka yang mencerminkan ketidak-matangan
perkembangan sosial dan emosional mereka. Fakta membuktikan, individu autis
mengembangkan perilaku seksual yang tidak seharusnya karena ketidak-mampuan
mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena ketidak mampuan mereka
berkomunikasi dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Pada saat
bersamaan, kesulitan mereka dalam membayangkan berbagai hal membuat mereka
mengalami kesulitan berfantasi sehingga pada akhirnya memerlukan rangsangan khusus
sebagai upaya membantu memberi kepuasan pada kebutuhan seksual mereka.
PENDIDIKAN
SEKSUALITAS BAGI INDIVIDU AUTIS
Menurut Adams (1997), tujuan pendidikan seks bagi
individu autis adalah untuk membuat individu:
-
sadar dan menghargai ciri seksualitas diri sendiri
-
memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria dan
wanita, serta peran masing-masing jender dalam reproduksi manusia
-
mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya,
termasuk masalah-masalah
seperti menstruasi, mimpi basah, perasaan yang berubah-ubah, tumbuhnya bulu di
sekujur tubuh, perubahan bau badan dsb.
seperti menstruasi, mimpi basah, perasaan yang berubah-ubah, tumbuhnya bulu di
sekujur tubuh, perubahan bau badan dsb.
-
memahami bahwa tidak ada seorangpun punya hak melakukan
tindakan seksual atas dirinya tanpa izin
-
memahami tanggung jawab yang terlibat bila kita memiliki
keturunan
-
memahami bahwa cara-cara kontrol kelahiran (metode
keluarga berencana) harus dilakukan, kecuali anak memang dikehendaki dan dapat
dirawat dengan baik serta bertanggung jawab
-
memahami peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan
diri dan orang lain
-
tahu dan dapat mencari bantuan untuk masalah-masalah
tertentu bilamana diperlukan (manakala terjadi pelecehan atau penularan
penyakit)
-
memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual
yang pantas di
lingkungannya
lingkungannya
Sambil mengingatkan bahwa setiap individu berbeda, Schwier &
Hingsburger (2000) mengusulkan untuk mengajarkan beberapa hal sesuai usia
mental anak:
◇
Antara
3-9 tahun
-
Beda laki dan perempuan (anatomi, kebiasaan, emosi,
tuntutan lingkungan dsb)
-
Beda tempat publik dan pribadi, nama anggota badan
-
Proses kelahiran bayi
◇
Antara
9-15 tahun
-
Menstruasi
-
Mimpi basah
-
Perubahan fisik lainnya
-
Cara mengenali dan mengatakan ‘tidak’ pada sentuhan
seksual oleh orang lain
-
Proses ‘pembuahan’ yang menghasilkan bayi
-
Perasaan dan dorongan seksual
-
Masturbasi
◇
Usia 16
tahun dan lebih
-
Proses terjadinya hubungan antar pribadi
-
Proses berkembangnya dorongan seksual dan bagaimana
mengatasinya
-
Homoseksualitas (perasaan senang pada teman sejenis)
-
Beda antara cinta kasih dan hubungan seks
-
Hukum dan konsekuensi dari menyentuh orang lain secara
seksual
-
Pencegahan kehamilan, metode keluarga berencana
-
Penularan penyakit seksual
-
Tanggung jawab perkawinan dan memiliki anak
Ada 2 (dua)
jenis pengarahan yang diperlukan anak sehubungan dengan topik di atas,
yaitu:
1.
Anak harus tahu batasan hal-hal yang boleh atau tidak
boleh dari perilakunya.
Misal: tidak boleh
membuka baju di depan orang lain, bagian tubuh mana dari orang lain yang masih
pantas untuk disentuh (tangan, bahu), atau bagaimana menjaga kebersihan tubuh.
2.
Anak harus diajarkan dasar-dasar ketrampilan sosial. Tanpa
dasar seperti ini, ia akan sulit memasuki tahapan yang lebih rumit dari
hubungan antar manusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan, sampai ke hubungan
seks. Biasanya individu tersebut sendiri yang menunjukkan apakah ia memiliki
kebutuhan untuk sekedar berteman atau membentuk hubungan antar individu yang
lebih rumit.
Dalam menetapkan kebutuhan pengajaran pada anak,
diperlukan pengamatan intensif. Misal: Anto disuruh teman-teman sebayanya
mendatangi seorang gadis dan menyentuh dada gadis tersebut. Atau, Ali yang
berdiri di kamar mandi dan buang air kecil dengan celana yang diturunkan hingga
ke mata kaki.
Sekilas tampaknya perilaku-perilaku tersebut
tergolong perilaku seksual yang tidak pantas, tapi sesungguhnya lebih mewakili
ketidak tahuan anak akan ‘hukum aturan sosial’ yang berlaku. Anto tidak tahu
bahwa tidak boleh asal menyentuh dada gadis, sementara Ali juga tidak tahu
bagaimana buang air kecil yang sepantasnya bagi pria dewasa.
Tidak cukup hanya meminta anak membedakan bagian
tubuh atau memahami bagaimana bayi terjadi.
Penting mengintegrasikan aspek fisik, emosi dan sosial pada saat
mengajarkan beberapa hal di atas. Anak harus mengerti sikap, nilai dan
ketrampilan dasar tertentu untuk dapat berespons pada situasi yang
berbeda-beda. Misalnya ketika belajar mengenai payudara-nya sendiri, seorang
anak gadis harus tahu bahwa:
~
Payudara memiliki tujuan estetika dan tujuan fungsi (aspek
fisik)
~
Payudara adalah bagian tubuh yang ‘pribadi’ (aspek sosial)
~
Tidak nyaman membicarakan bagian-bagian tubuh pribadi
begini, maka penting menemukan seseorang yang bersedia menjawab pertanyaan dan
masalah (aspek sosial)
~
Banyak cara menolak upaya-upaya yang tidak diinginkan bila
seseorang berusaha menyentuh payudaranya (ketrampilan)
~
Kalau ada orang lain berusaha menyentuh payudaranya, ia
mungkin akan merasa tidak nyaman (aspek emosional).
Selain
pengertian tentang perubahan fisik, aspek sosial, ketrampilan dan emosional;
penting mengembangkan perasaan positif terhadap diri sendiri ( = self love
& self acceptance ). Perasaan
positif terhadap diri sendiri ini sangat penting dan menentukan. Beberapa
kasus membuktikan kemungkinan yang sangat memprihatinkan bila seorang individu
tidak merasa diterima apa adanya. Misal: Seorang wanita tidak suka penampilan
dan dirinya sendiri. Begitu bencinya ia pada dirinya sendiri, sehingga ia
bahkan tidak bisa bercermin. Setiap kali ia melihat bayangan dirinya sendiri,
ia akan memukuli dirinya. Atau wanita lain yang hanya bisa berbisik ketika
diminta menjawab pertanyaan orang lain. Atau wanita lain yang begitu saja
membiarkan dirinya dijadikan obyek oleh laki-laki karena mendambakan
kemungkinan melupakan bahwa dirinya ‘tidak menarik’ sehingga bahkan pelecehan
atas dirinya ia biarkan saja karena ia artikan sebagai bentuk perhatian dari
seseorang terhadap dirinya.Yang penting adalah memperhatikan tingkat pemahaman,
kemampuan berbahasa, tingkat fungsi sosial, perilaku dan kematangan emosi
setiap individu sehingga materi pengajaran juga dapat disesuaikan dengan
kondisi anak.
TIPS BAGI ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN SEKSUALITAS
Orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab atas
proses pengajaran seksualitas pada anak. Bagaimanapun, rumah adalah daerah
‘pribadi’ dimana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan seksualitasnya.
Orang tua berkesempatan memperkenalkan nama anggota tubuh melalui kegiatan
sehari-hari, orang tua bisa membentuk rutinitas kebiasaan anak sehingga anak
paham konsep-konsep ‘publik’ versus ‘pribadi’, orang tua dan saudara kandung
juga bisa menjadi model perilaku bagi anak. Selain itu, orang tua juga harus
dilibatkan karena banyak pertimbangan nilai moral yang perlu diputuskan sebelum
langkah-langkah penanganan bisa diambil. Misal: bagaimana mensikapi kebutuhan
anak akan ekspresi seksualitas, apakah seorang anak diperbolehkan masturbasi
atau tidak, akan sangat tergantung pada pandangan orang tua.
Bahaya pelecehan seksual oleh orang lain di luar keluarga
juga menjadi alasan mengapa persiapan menghadapi masa remaja menjadi tanggung
jawab orang tua. Bahaya tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang tua anak
perempuan, tetapi juga oleh orang tua anak laki.
Pendidikan dan informasi mengenai seksual bagi anak autis ini
sebaiknya juga memperhatikan masalah kecemasan individual, terutama yang
berhubungan dengan perubahan fisik dan emosi mereka. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan saat merancang pendidikan seks bagi individu autis adalah
untuk:
- sebanyak mungkin
menggunakan alat bantu visual
- membagi
informasi atau penjelasan rumit ke dalam beberapa bagian yang lebih dapat
dicerna anak
- memberikan
penguat perilaku terutama untuk aturan-aturan dan struktur yang berhubungan
dengan masalah seksualitas, misal: tentang bagian tubuh yang publik dan
pribadi.
Gaya
dalam mengajarkan konsep-konsep ketrampilan sosial, kesehatan, pendidikan seks
dan pendidikan mengenai hubungan antar individu yang rumit, harus melalui
strategi dan instruksi yang sudah terbukti berhasil bagi individu tersebut,
antara lain melalui (Adams, 1997):
•
penjelasan singkat dan harafiah,
•
contoh-contoh konkrit,
•
saat-saat belajar yang ‘tidak sengaja’,
•
cerita sosial (=social stories),
•
pengulangan,
•
bermain peran (=role play),
•
tugas per langkah yang dipasangkan dengan alat bantu
visual,
•
‘errorless teaching’,
•
latihan memasangkan gambar dengan tulisan, dan sebagainya.
Bagaimanapun, penguat perilaku positif dan sikap
menerima keadaan anak apa adanya adalah dasar paling penting bagi pendidikan
seksualitas yang efektif efisien bagi anak-anak autis.
Proses pengajaran berbagai konsep abstrak (antara lain: ‘publik’ dan ‘pribadi’) paling efektif
dilakukan melalui teknik:
•
modeling
(memberikan contoh)
•
penjelasan
•
pengulangan (terus menerus)
Misal: mengajarkan cara berpakaian, lakukan di
tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau kamar tidur dan jelaskan kepada
anak bahwa ini adalah perilaku yang pribadi, jadi kita harus tutup pintu. Kalau
anak melakukan kekeliruan dan, misalnya, menyentuh kelaminnya di supermarket
ketika sedang menimbang buah, langsung katakan dengan suara yang tenang,
“Menyentuh diri sendiri juga perilaku pribadi. Kita tidak menyentuh bagian
tubuh pribadi di tempat umum.” Kalau
tidak mungkin menarik anak ke daerah yang tertutup, coba alihkan perhatiannya
ke hal lain dan diskusikan masalah ini begitu Anda sampai di rumah.
Memberikan contoh adalah hal penting, karena itu
orang tua dan lingkungan individu autis juga harus menjaga sikap mereka untuk
dapat menghasilkan individu autis dewasa yang bertanggung jawab. Bila orang
lain di rumah mondar-mandir tanpa baju yang pantas, tentu saja sulit memberi
pengarahan pada anak autis untuk berpakaian secara rapi sebelum keluar dari
kamar. Atau bila ibu keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililitkan,
bagaimana pula anak paham bahwa ia harus berpakaian sebelum keluar dari kamar
mandi?
Mengajarkan konsep “apa”, lalu “kapan” dan “dimana”
relatif lebih mudah dibanding mengajarkan “bagaimana” – yaitu dimana anak
diajarkan untuk mengaplikasikan pengetahuan mengenai ketrampilan sosial dan
seksualitasnya dalam situasi-situasi aktual.
Berbagai pengajaran bagi individu dengan kebutuhan khusus yang bisa
membantu mereka menyelesaikan masalah ‘pelecehan seksual’ adalah rumus
sederhana berikut: No-Go-Tell.
1.
Mengatakan “Tidak” bukan hal mudah bagi seorang
remaja yang didatangi orang lain yang lebih dari dia (lebih kuat, lebih tua,
lebih matang, lebih percaya diri, lebih cerdas). Anak harus paham bahwa pribadi berarti tubuhnya adalah miliknya,
dan tidak ada orang lain yang boleh asal sentuh bagian tubuhnya tanpa izinnya.
2. Pergi,
menuntut individu untuk mendobrak sesuatu. Dalam situasi yang penuh ketegangan,
biasanya anak ditekan untuk melakukan sesuatu, bagaimana melakukannya, dan
tidak boleh bilang-bilang. Untuk bisa pergi dari situasi seperti itu atau
berusaha untuk lari, menuntut anak untuk paham bahwa tidak semua perintah harus dituruti.
3.
Mengatakan pada orang lain (=lapor), menuntut seseorang
untuk melanggar janji atau melawan ancaman. Tidak mudah karena biasanya
anak-anak ini berada di bawah tekanan dan kontrol dari jauh melalui ancaman.
Untuk dapat melapor, anak harus paham bahwa ia
yang menentukan fakta apa bisa dikatakan sebagai rahasia, dan ia yang
menetapkan fakta apa yang bisa digolongkan sebagai ‘aman’.
Lalu, KAPAN kita mulai proses pendidikan seksualitas ini ? Mengingat
bahwa seksualitas mencakup begitu banyak aspek (pikiran, perasaan, sikap dan
perilaku seseorang terhadap dirinya), maka proses pengajaran sudah seharusnya
dimulai sejak usia dini. Setidaknya
anak sudah dibekali mengenai aturan dan norma sosial yang berlaku yang
membedakan antara sikap, perilaku pria & wanita dari yang paling sederhana
(anatomi berbeda, toilet berbeda dsb) hingga yang paling abstrak (tanggung
jawab dan kodrat).
Pendidikan seksual merupakan sebuah proses berkesinambungan, berawal
dari masa kanak hingga masa dewasa. Tujuan pendidikan seksualitas bukan agar
individu dapat info sebanyak mungkin, tetapi untuk dapat menggunakan informasi
secara lebih fungsional.
Untuk
mengupayakan proses pendidikan seksualitas yang memiliki hambatan minimal, ada
beberapa prinsip yang bisa dijadikan acuan dalam bertindak (Spragg, 2001):
1.
Ciptakan
suasana keterbukaan sehingga anak tidak sungkan bertanya mengenai masalah
seksualitas.
Bila sikap
kita menyiratkan “tabu”, atau “enggan”, maka anak lebih mendengarkan informasi
dari luar rumah, yang mungkin saja tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
2.
Bila anak
tampak tertarik dengan topik ini, gunakan saat tersebut untuk masuk ke dalam pembahasan.
Biasanya
bila ia mulai memperhatikan kehamilan, orang menyusui, perbedaan wanita &
pria, dan sebagainya. Sebaliknya, bila anak tampak tidak menunjukkan
tanda-tanda ketertarikan, ini bukan alasan bagi kita untuk menunda diskusi
mengenai masalah seksualitas. Bisa saja ia tidak tampak tertarik karena ia
tidak percaya diri atau tidak yakin. Kita tidak bisa mengelak, karena
perkembangan fisiknya segera akan membuatnya tersadar akan perubahan tersebut.
3.
Berikan
informasi dasar yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan
komunikasinya.
Setidaknya, informasi mencakup anatomi, konsep bagian
badan ‘pribadi’, sentuhan baik >< buruk, masturbasi, hubungan antara
jender sejenis dan lawan jenis dan sebagainya. Berikan informasi dalam bentuk
yang dapat ia pahami. Tentu saja tingkat pemahaman akan sangat mempengaruhi.
Hindari memberikan informasi yang terlalu banyak, tidak perlu atau tidak mereka
pahami.
4.
Gunakan
strategi instruksi yang konkrit, bermakna dan individual.
Informasi
sebaiknya ditampilkan dalam bentuk yang paling mudah diproses. Misal, mereka
umumnya visual learners, jadi gunakan visual cues. Instruksi verbal sebaiknya
sederhana dan konkrit, dan tambahkan materi audio-visual dan gambar. Hindari
penggunaan konsep abstrak dan gaya bahasa metafor. Informasi juga sebaiknya
diberikan dalam bentuk ‘chunks’ (kelompok kecil) yang terus menerus
diulang-ulang.
5.
Kembangkan
aturan mengenai perilaku seksualitas yang boleh dan tidak boleh.
Ajarkan konsep-konsep: publik >< pribadi, batasan
‘pribadi’, kesadaran akan keselamatan diri, izin dan tanggung jawab pribadi
dalam kaitannya dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab.
Anak-anak sulit melihat dari sudut pandang orang lain,
karena itu harus dilatih melalui bermacam ilustrasi konkrit atau dengan
mengajarkan berbagai aturan bagaimana bersikap. Misal: aturan waktu dan tempat
untuk melakukan masturbasi, tidak boleh menyentuh orang lain tanpa izin,
menghindari berbincang dengan orang yang tidak dikenal dsb.
6.
Jangan
abaikan sisi perasaan dari perilaku seksual.
Hindari terlalu terpusat pada diskusi mengenai perilaku
hubungan seks itu sendiri. Penting bagi anak utnuk dapat membedakan berbagai
jenis hubungan (persahataban, hubungan kasih, cinta, hubungan kerja dsb).
Perasaan yang berkaitan dengan hubungan yang berbeda-beda ini juga
berbeda-beda, tidak saja dalam hal intensitas dan fokus tetapi juga dalam hal
ekspresi.
Garis bawahi bahwa hubungan intim seksual adalah bentuk
mengekspresikan ‘kasih’ dan ‘perhatian’, dan bukan sekedar aktifitas biologis.
Sebaliknya, bisa juga kita mengungkapkan rasa kasih dan perhatian melalui cara
lain selain hubungan seksualitas tersebut. Jangan lupa tekankan bahwa dorongan
seksual tersebut seringkali harus dikontrol dan ditahan.
7.
Dorong
anak untuk aktif dalam kegiatan atau pergaulan dengan teman sebaya sehingga ia
aktif.
Beri anak kesempatan untuk memiliki pengalaman bergaul
dengan teman sebaya (lawan jenis atau tidak) agar ia paham bahwa kegiatan yang
bermacam-macam dengan berbagai teman perlu berakhir dengan hubungan seksual.
Respons teman sebaya juga merupakan media yang sesuai untuk mengajarkan
‘batasan’ dalam perilaku fisik saat bergaul.
8.
Ajarkan
makna ‘nilai’ dan ‘moral’.
Mengajarkan
makna ‘nilai’ dan ‘moral’ adalah hak dan kewajiban orang tua. Konsep-konsep ini
sangat membantu anak menetapkan batasan, terutama ketika mereka bingung atau
keadaan sangat tidak jelas sehingga mereka tidak tahu harus berespons
bagaimana. Nilai dan moral ini juga bisa menjadi landasan orang tua
mengembangkan ‘self-respect’ dan ‘self-esteem’ yang positif.
KESIMPULAN
Seksualitas adalah konsep yang sangat luas, mencakup
berbagai aspek yang perlu diketahui anak sebagai bekal menghadapi masyarakat
ketika mereka beranjak remaja dan dewasa. Proses pengajaran berada di tangan
orang tua, karena batasan ‘norma’, ‘kebiasaan’ dan ‘aturan’ perlu ditegakkan
oleh orang tua di lingkungan ‘pribadi’ yaitu di rumah.
Orang tua perlu membedakan antara seksualitas dan hubungan seks.
Penting sekali memberikan informasi jelas, bermakna dan konkrit bagi anak agar
mereka dapat
•
mensikapi perubahan fisik dan psikis saat pubertas tanpa
cemas berlebihan
•
memahami bahwa hubungan antar pribadi sangat rumit dan
perlu pertanggung jawaban
•
menghargai diri sendiri sehingga bersikap waspada dalam
menjaga diri
•
memecahkan masalah bila mereka dihadapkan pada lingkungan
yang melecehkan
==***==
*) Penulis adalah Psikolog, Pendiri / Pengurus Yayasan
Autisma Indonesia, Penanggung Jawab Pendidikan pada Sekolah Khusus Autisma
“MANDIGA” – Jakarta, dan ibu dari Ikhsan Priatama Sulaiman, individu autisma berusia 11 tahun 9 bulan.
KONTAK: dyahpspt@dnet.net.id
~
Sekolah
Khusus Individu Autisma “MANDIGA” – Jl. Erlangga II / 12 – Kebayoran Baru –
Jakarta 12110. Telp. 021-722-0178, Fax.
021-727-91364
~
Yayasan
Autisma Indonesia – Jl. Buncit Raya no. 55 – Jakarta Selatan. Telp. 021-7971945
REFERENSI
◇
Adams, Janice L.; Autism-PDD,
More Creative Ideas from Age Eight to Early Adulthood, 1997, Adams
Publication, Ontario-Canada
◇
Grandin, Temple; Thinking
in Pictures – and other reports from my life with autism, 1995,
Doubleday, New York, USA
◇
Schwier, Karin Melberg &
Hingsburger, Dave, Sexuality – Your Sons & Daughters with Intellectual Disabilities,
2000, Paul.H.Brookes Publishing Co., Maryland-USA
◇
Spragg, Paul A. Ed.D; On
Birds, Bees and Disabilities in Autism-Asperger’s Digest Magazine,
Jan-Feb 2001, Future Horisons Publishing Co., USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar